Namaku Reni, usia 27 tahun. Kulitku kuning langsat dengan rambut
panjang dan lurus. Tinggiku 165 cm dan berat 51 kg. Aku telah menikah
setahun lebih. Aku berasal dari keluarga Minang yang terpandang. Banyak
yang bilang kalau wajahku mirip dengan aktris dan model Mira Asmara.
Saat ini aku bekerja pada sebuah Bank pemerintah yang cukup terkenal.
Suamiku Ikhsan adalah seorang staf pengajar pada sebuah perguruan
tinggi swasta di kota Padang. Di samping itu, ia juga memiliki beberapa
usaha perbengkelan.
Kami menikah setelah sempat berpacaran kurang lebih tiga tahun.
Perjuangan kami cukup berat dalam mempertahankan cinta dan kasih sayang.
Di antara sekian banyak halangan yang kami temui adalah ketidaksetujuan
dari pihak orang tua kami. Sebelumnya aku telah dijodohkan oleh orang
tuaku dengan seorang pengusaha.
Bagaimanapun, kami dapat juga melalui semua itu dengan keyakinan yang
kuat hingga kami akhirnya bersatu. Kami memutuskan untuk menikah tapi
kami sepakat untuk menunda dulu punya anak. Aku dan Bang Ikhsan cukup
sibuk sehingga takut nantinya tak dapat mengurus anak.
Kehidupan kami sehari-hari cukup mapan dengan keberhasilan kami
memiliki sebuah rumah yang asri di sebuah lingkungan yang elite dan juga
memiliki dua unit mobil sedan keluaran terbaru hasil usaha kami berdua.
Begitu juga dalam kehidupan seks tiada masalah di antara kami. Ranjang
kami cukup hangat dengan 4-5 kali seminggu kami berhubungan suami istri.
Aku memutuskan untuk memakai program KB dulu agar kehamilanku dapat
kuatur.
Aku pun rajin merawat kecantikan dan kebugaran tubuhku agar suamiku tidak berpaling dan kehidupan seks kami lancar.
Suatu waktu, atas loyalitas dan prestasi kerjaku yang dinilai bagus,
maka pimpinan menunjukku untuk menempati kantor baru di sebuah kabupaten
baru yang merupakan sebuah kepulauan di daerah Mentawai. Aku merasa
bingung untuk menerimanya dan tidak berani memutuskannya sendiri. Aku
harus merundingkannya dulu dengan suamiku. Bagiku naik atau tidaknya
statusku sama saja, yang penting untukku adalah keluarga dan
perkawinanku.
Tanpa aku duga, suamiku ternyata sangat mendorongku agar tidak
melepaskan kesempatan ini. Inilah saatnya bagiku untuk meningkatkan
kinerjaku yang biasa-biasa saja selama ini, katanya. Aku bahagia sekali.
Rupanya suamiku orangnya amat bijaksana dan pengertian. Sayang orang
tuaku kurang suka dengan keputusan itu. Begitu juga mertuaku.
Bagaimanapun, kegundahan mereka akhirnya dapat diatasi oleh suamiku
dengan baik. Bahkan akhirnya mereka pun mendorongku agar maju dan tegar.
Suamiku hanya minta agar aku setiap minggu pulang ke Padang agar kami
dapat berkumpul. Aku pun setuju dan berterima kasih padanya.
Aku pun pindah ke pulau yang jika ditempuh dengan naik kapal motor
dari Padang akan memerlukan waktu selama 5 jam saat cuacanya bagus.
Suamiku turut serta mengantarku. Ia menyediakan waktu untuk bersamaku di
pulau selama seminggu.
Di pulau itu aku disediakan sebuah rumah dinas lengkap dengan
prasarananya kecuali kendaraan. Jarak antara kantor dan rumahku hanya
dapat ditempuh dengan naik ojek karena belum adanya angkutan di sana.
Hari pertama kerja aku diantar oleh suamiku dan sorenya dijemput.
Suamiku ingin agar aku betah dan dapat secepatnya menyesuaikan diri di
pulau ini. Memang prasarananya belum lengkap. Rumah-rumah dinas yang
lainnya pun masih banyak yang kosong.
Selama di pulau suamiku tidak lupa memberiku nafkah batin karena
nantinya kami hanya akan bertemu seminggu sekali. Aku menyadari benar
hal itu. Karena itu kami pun mereguk kenikmatan badaniah sepuas-puasnya
selama suamiku ada di pulau ini.
Suamiku dalam tempo singkat telah dapat berkenalan dengan beberapa
tetangga yang jaraknya lumayan jauh. Ia juga mengenal beberapa tukang
ojek hingga tanpa kusangka suatu hari ia menjemputku pakai sepeda motor.
Rupanya ia meminjamnya dari tukang ojek kenalannya.
Salah satu tukang ojek yang dikenal suamiku adalah Pak Sitorus. Pak
Sitorus ini adalah laki-laki berusia 50 tahun. Ia tinggal sendirian di
pulau itu sejak istrinya meninggal dan kedua anaknya pergi mencari kerja
ke Jakarta.
Laki-laki asal tanah Batak itu harus memenuhi sendiri kebutuhan
hidupnya di pulau itu dengan kerja sebagai tukang ojek. Pak Sitorus,
yang biasa dipanggil Pak Sitor, orangnya sekilas terlihat kasar dan
keras namun jika telah kenal, sebetulnya ia cukup baik. Menurut suamiku,
yang sempat bicara panjang lebar dengan Pak Sitor, dulunya ia pernah
tinggal di Padang yaitu di Muara Padang sebagai buruh pelabuhan. Suatu
saat ia ingin mengubah nasibnya dengan berdagang namun bangkrut.
Untunglah ia masih punya sepeda motor sehingga menjadi tukang ojek.
Hampir tiap akhir pekan aku pulang ke Padang untuk berkumpul dengan
suamiku. Yang namanya pasangan muda tentu saja kami tidak melewatkan
saat kebersamaan di ranjang. Saat aku pulang, aku menitipkan rumah
dinasku pada Pak Sitor karena suamiku bilang ia dapat dipercaya. Aku pun
menuruti kata-kata suamiku.
Kadang-kadang aku diberi kabar oleh suamiku bahwa aku tidak usah
pulang karena ia yang akan ke pulau. Sering kali suamiku bolak-balik ke
pulau hanya karena kangen padaku. Sering kali pula ia memakai sepeda
motor Pak Sitor dan memberinya uang lebih.
Suamiku telah menganggap Pak Sitor sebagai sahabatnya karena sesekali
saat ia ke pulau, Pak Sitor diajaknya makan ke rumah. Sebaliknya, Pak
Sitor pun sering mengajak suamiku jalan-jalan di pantai yang cukup indah
itu.
Suamiku sering memberi Pak Sitor uang lebih karena ia akan menjagaku
dan rumahku jika aku ditinggal. Sejak saat itu aku pun rutin diantar
jemput Pak Sitor jika ke kantor. Tidak jarang ia membawakanku penganan
asli pulau itu. Aku pun menerimanya dengan senang hati dan berterima
kasih. Kadang aku pun membawakannya oleh-oleh jika aku baru pulang dari
Padang.
***
Setelah beberapa bulan aku tugas di pulau itu dan melalui rutinitas
seperti biasanya, suamiku datang dan memberiku kabar bahwa ia akan
disekolahkan ke Australia selama 1,5 tahun. Ini merupakan bea siswa
untuk menambah pengetahuannya. Aku tahu bea siswa ini merupakan
obsesinya sejak lama. Aku pun bisa menerimanya. Aku pikir itu demi masa
depan dan kebahagiaan kami juga nantinya sehingga tidak jadi masalah
bagiku.
Sebelum berangkat, suamiku sempat berpesan agar aku jangan
segan-segan minta tolong kepada Pak Sitor sebab suamiku telah
meninggalkan pesan pada Pak Sitor untuk menjagaku. Suamiku pun
menitipkan uang yang harus aku serahkan pada Pak Sitor.
Sejak suamiku di luar negeri, kami sering telpon-teleponan. Kadang
aku bermasturbasi bersama suamiku lewat telepon. Itu sering kami lakukan
untuk memenuhi libido kami berdua. Akibatnya, tagihan telepon pun
meningkat. Aku tidak memperdulikannya. Saat melakukannya dengan suamiku,
aku mengkhayalkan dia ada dekatku. Tidak masalah jarak kami berjauhan.
Aku mulai jarang pulang ke Padang karena suamiku tidak ada. Paling
aku pulang sebulan sekali. Itu pun aku cuma ke rumah orang tuaku.
Rumahku di Padang aku titipkan pada saudaraku.
Aku melewatkan hari-hariku di pulau dengan kesibukan seperti biasanya. Begitu juga Pak Sitor yang rutin mengantarjemputku.
Suatu saat ketika aku pulang, Pak Sitor mengajakku untuk jalan-jalan
keliling pantai. Aku tahu ia dulu memang sering membawa suamiku
jalan-jalan ke pantai. Tapi saat ia mengajakku, kutolaknya dengan halus.
Aku merasa tidak enak. Apa nanti kata teman kantorku jika melihatnya.
Kebetulan saat itu pun aku sedang tidak mood sehingga aku merasa lebih
tenang di rumah saja. Di rumah aku beres-beres dan berbenah pekerjaan
kantor.
Akhir-akhir ini, aku merasakan bahwa Pak Sitor amat memperhatikanku.
Tidak jarang sore-sore ia datang sekedar memastikan aku tidak apa-apa.
Ia dapat dipercaya untuk masalah keamanan sebab di pulau itu ia amat
disegani dan berpengaruh.
Kusadari kadang saat berboncengan, tanpa sengaja dadaku terdorong ke
punggung Pak Sitor. Biasanya itu terjadi saat ia menghindari lubang atau
saat ia mengerem. Aku maklum, itulah risikonya jika aku berboncengan
sepeda motor. Semakin lama, hal seperti itu semakin sering terjadi
sehingga akhirnya aku jadi terbiasa. Sesekali aku juga merangkul
pinggangnya jika aku duduknya belum pas di atas jok motornya. Aku rasa
Pak Sitor pun sempat merasakan kelembutan payudaraku yang bernomer 34b
ini. Aku menerima saja kondisi ini sebab di pulau ini memang tak ada
angkutan. Jadi aku harus bisa membiasakan diri dan menjalaninya. Tak
bisa dibandingkan dengan di Padang di mana aku terbiasa menyetir sendiri
kalau pergi ke kantor.
Pada suatu Jumat sore sehabis jam kerja, Pak Sitor datang kerumahku.
Seperti biasanya, ia dengan ramah menyapaku dan menanyakan keadaanku. Ia
pun kupersilakan masuk dan duduk di ruang tamu.
Sore itu aku telah selesai mandi dan sedang menonton televisi.
Kembali Pak Sitor mengajakku jalan ke pantai. Aku keberatan sebab aku
masih agak capai. Lagipula aku agak kesal dengan kesibukan suamiku dalam
beberapa pekan terakhir ini. Tiap kali kutelepon, seperti yang terakhir
kulakukan tadi, ia tidak bisa terlalu lama berbincang-bincang.
Alasannya lagi sibuk menyiapkan thesis. Aku mulai merasa kurang
diperhatikan.
“Kalau gitu, kita main catur saja, Bu… Gimana?” Pak Sitor mencoba mencari alternatif.
Dulu ia memang sering main catur dengan suamiku. Akhirnya aku pun
setuju. Lumayanlah, untuk menghilangkan kesuntukanku saat itu. Aku lalu
main catur dengan laki-laki itu.
Tak terasa, waktu berlalu sangat cepat. Sudah beberapa ronde kami
bermain. Beberapa kali pula aku mengalahkannya. Taruhannya adalah siapa
yang kalah harus dikalungi lehernya dengan sebuah botol yang diikat
tali. Semakin sering kalah, semakin banyak botol yang harus dikalungkan
padanya.
Aku pun tertawa-tawa karena semakin banyak botol yang dikalungkan ke
leher Pak Sitor. Aku sendiri sampai saat itu cuma dikalungi satu botol.
Seumur hidupku, baru kali ini aku mau bicara bebas dan akrab dengan
laki-laki selain suamiku. Biasanya tidak semua laki-laki dapat bebas
berbicara denganku. Aku termasuk tipe orang yang membatasi dalam
berhubungan dengan lawan jenis sehingga tidak heran jika aku sering
dicap sombong oleh kebanyakan lelaki yang kurang kukenal. Anehnya,
dengan Pak Sitor aku bisa bicara apa adanya, akrab dan ceplas-ceplos.
Mungkin karena kami telah saling mengenal dan juga karena aku merasa
membutuhkan tenaganya di pulau ini.
Tanpa terasa, telah lama kami bermain catur sejak sore tadi. Jam
telah menunjukkan pukul 10 malam. Di luar rupanya telah turun hujan
deras diiringi petir yang bersahut-sahutan. Kami pun mengakhiri
permainan catur kami. Aku lalu membersihkan mukaku ke belakang.
“Pak, kita ngopi dulu, yuk..? Biar nggak ngantuk,” kataku menawarinya.
Saat itu di pulau penduduknya telah pada tidur. Yang terdengar hanya
suara hujan dan petir. Setelah menghabiskan kopinya, Pak Sitor minta
izin pulang karena hari telah larut. Aku tidak sampai hati sebab cuaca
tidak memungkinkan ia pulang. Rumahnya pun cukup jauh. Lagi pula aku
kuatir jika nanti ia tersambar petir.
Lalu aku tawarkan agar ia tidur di ruang tamuku saja. Akhirnya ia
menerima tawaranku. Aku memberinya sebuah bantal dan selimut karena
cuaca sangat dingin saat itu.
Tiba-tiba listrik padam. Aku sempat kaget. Baru kuingat, di pulau itu
jika hujan lebat biasanya aliran listrik sering padam. Untunglah Pak
Sitor punya korek api dan membantuku mencari lampu minyak di ruang
tengah. Lampu kami hidupkan. Satu untuk di kamarku dan yang satu lagi
untuk di ruang tamu tempat Pak Sitor tidur.
Aku lalu minta diri untuk lebih dulu tidur sebab aku merasa capai.
Aku pun pergi ke kamar untuk tidur. Di luar hujan turun dengan derasnya
seolah pulau ini akan tenggelam.
Aku berusaha untuk tidur namun ternyata tidak bisa. Ada rasa gelisah
yang menghalangiku untuk terlelap. Petir menggelegar begitu kerasnya.
Akhirnya kuputuskan pergi ke ruang tamu saja. Hitung-hitung memancing
kantuk dengan ngobrol bareng Pak Sitor. Rasa khawatirku pun bisa
berkurang sebab aku merasa ada yang melindungi.
Sesampainya di ruang tamu, kulihat Pak Sitor masih berbaring namun
matanya belum tidur. Ia kaget, disangkanya aku telah tidur. Aku lalu
duduk di depannya dan bilang nggak bisa tidur.
Ia cuma tersenyum dan bilang mungkin aku ingat suamiku.
Padahal saat itu aku masih sebal dengan kelakuan suamiku. Aku cuma
tersenyum kecut dan mengatakan kalau badanku rasanya pegal-pegal.
“Kalau begitu, biar saya pijati, Bu,” kata Pak Sitor sigap.
“Orang-orang bilang, pijatan saya enak, lho,” katanya lagi sambil mengacungkan jempol.
Aku tersenyum mendengar promosinya. Aku lalu duduk membelakanginya
sementara Pak Sitor memijatiku, mulai dari kepala, kedua pundakku,
sampai kedua lenganku. Mau tak mau harus kuakui, pijatannya memang
mantap.
Sambil memijatiku, Pak Sitor mengajakku ngobrol tentang apa saja, terutama tentang keluargaku dan suamiku.
Karena masih kesal dengan suamiku, tanpa sengaja kucurahkan
kekesalanku. Aku tahu, mestinya aku tidak boleh bilang suasana hatiku
saat itu tentang suamiku pada Pak Sitor namun entah mengapa kata-kata
itu meluncur begitu saja. Aku merasa senang mendapatkan teman untuk
curhat. Pak Sitor mendengarkan dengan seksama semua detail ceritaku. Tak
terasa sudah hampir satu jam aku membeberkan semua rahasia pernikahanku
kepada Pak Sitor.
Dengan cara bijaksana dan kebapakan tanpa sama sekali berkesan
menggurui, sesekali ia menanggapi dan menyemangati aku yang belum banyak
merasakan asam garam perkawinan. Dalam suasana cahaya lampu yang
temaram dan obrolan kami yang cukup hangat, aku tidak menyadari kapan
Pak Sitor pindah duduk ke sampingku.
Aku pun membiarkan saja saat Pak Sitor, sambil terus memijatiku,
meraih jemariku yang dilingkari cincin berlian perkawinanku dan
meremas-remasnya. Lalu aku malah merebahkan kepalaku di dadanya. Aku
merasa terlindungi dan merasa ada yang menampung beban pikiranku selama
ini.
Pak Sitor pun membelai rambutku seakan aku adalah istrinya. Bibirnya
terus bergerak ke balik telingaku dan menghembuskan nafasnya yang
hangat. Aku terlena dan membiarkannya berbuat seperti itu. Perlahan ia
mulai menciumi telingaku. Aku mulai terangsang ketika ia terus
melakukannya dengan lembut.
Bibirnya pun terus bergeser sedikit demi sedikit ke bibirku. Saat
kedua bibir kami bertemu, seperti ada aliran listrik yang mengaliri
sekujur tubuhku.
Aku seperti terhipnotis. Aku seperti tak peduli bahwa saat itu aku
sedang dicumbui oleh laki-laki yang bukan suamiku. Aku tahu itu adalah
perbuatan yang terlarang… tapi aku tak kuasa menolaknya. Aku
melakukannya dalam kesadaran penuh… dan aku pun menikmatinya. Aku mulai
merasakan basah di sekitar pangkal pahaku…
Mungkin aku telah salah langkah dan salah menilai orang. Jelas bahwa
Pak Sitor sama sekali tak merasa sungkan memperlakukanku seperti itu. Ia
pun seolah tahu benar apa yang harus diperbuatnya terhadap diriku untuk
membuatku terbuai dalam dekapannya. Seolah-olah ia telah menyimpan
hasrat yang mendalam terhadap diriku selama ini.
Malam ini adalah kesempatan yang telah ditunggu-tunggunya… Anehnya,
aku seperti tak mampu menahan sepak terjangnya. Padahal yang pantas
berbuat seperti itu terhadapku hanyalah suamiku tercinta. Sepertinya
telah tertutup mata hatiku oleh nafsu dan gairahku yang juga menuntut
pelampiasan.
Dengan demikian, Pak Sitor pun bebas mengulum bibirku beberapa saat.
Aku tak tahu setan apa yang telah merasuki kami berdua. Yang jelas, aku
pun membalas ciumannya sambil menutup kedua mataku menikmatinya.
Sementara itu, tangan Pak Sitor juga tidak mau tinggal diam. Melihat
penerimaanku, ia pun semakin berani. Dengan alasan meneruskan
pijatannya, ia mulai merabai buah dadaku yang terbungkus BH dan pakaian
tidur.
Aku pun mendesah di dalam pelukannya. Aku benar-benar terlena
menikmati gerayangan tangannya di tubuhku. Pak Sitor pun tampak semakin
bergairah karenanya.
Dalam hati aku takjub kami bisa berhubungan sampai sejauh itu tanpa
pernah kami bayangkan sebelumnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Semuanya mengalir begitu saja secara naluriah di antara sepasang manusia
berlainan jenis kelamin yang masing-masing memiliki nafsu birahi
terpendam. Apalagi suasana malam yang gelap yang diguyur hujan lebat di
pedalaman sebuah pulau benar-benar mendukung kegiatan kami. Aku pun
merasa nyaman dalam pelukan dan buaian Pak Sitor.
“Bu Reni,” tiba-tiba Pak Sitor berkata pelan.
“Pijatannya diteruskan di kamar Ibu saja, ya?” pintanya. “Biar Ibu saya pijat seluruh badan sambil diluluri dengan body lotion…”
Sebetulnya aku terkejut dengan permintaannya. Itu berarti aku harus
dipijat telanjang oleh Pak Sitor. Akan tetapi entah mengapa, aku malah
jadi bergairah menerima tawarannya. Apalagi suasana malam itu yang gelap
dan diiringi hujan lebat begitu mendukung.
“Boleh, Pak…” kataku pelan dengan suara serak karena gairah yang menghentak.
Aku menurut saja saat dibimbing Pak Sitor ke kamar tidur sambil
bergandengan tangan. Direbahkannya tubuhku di atas ranjang yang biasa
kugunakan untuk bercinta hanya dengan suamiku. Namun kini yang berada di
sampingku bukanlah suamiku, melainkan seorang laki-laki tukang ojek
sepantaran ayahku yang seharusnya tidak pantas untukku.
Saat itu juga aku tahu akan terjadi sesuatu yang terlarang di antara
kami berdua. Aku tak pernah telanjang di hadapan laki-laki, kecuali
suamiku. Entah apa yang menyihirku, yang membuatku memasrahkan diri pada
laki-laki ini. Semuanya seolah berjalan begitu cepat dan mengalir
begitu saja. Aku pun terhanyut terbawa aliran nafsu yang dibangkitkan
Pak Sitor.
Pak Sitor lalu menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Sedang lampu di luar telah ia matikan tadi.
Aku diam saja menanti apa yang akan diperbuatnya padaku. Padahal
selama ini aku tidak pernah sekali pun memberi hati jika ada laki-laki
lain yang iseng merabaku dan menggodaku. Saat di Padang dulu, sebetulnya
banyak rekan sekerjaku yang masih muda dan gagah berusaha iseng
menggodaku. Kadang mereka dengan gigih mengajakku kencan atau sekedar
makan berdua walau tahu aku sudah bersuami. Aku tak pernah melayani
mereka. Aku termasuk wanita yang menjunjung tinggi kesucian dan
kehormatan sesuai dengan yang selalu diajarkan orang tua dan agamaku.
Sekarang semua itu musnah tak berbekas. Di hadapan Pak Sitor, aku
sudah terbaring tak berdaya. Pasrah untuk mengikuti apa yang akan
diperbuatnya terhadapku. Aku akan ditelanjangi. Seluruh tubuhku akan
dipijati dan dirabainya. Aku tahu aku melakukan pencemaran terhadap
pernikahanku… tapi aku pun tak bisa menahan rasa basah yang mulai
menggelora di sekitar pangkal pahaku…
Pak Sitor mulai melepaskan pakaianku satu per satu, mulai dari
kaosku, lalu celana panjangku. Aku hanya memejamkan mataku saat
ditelanjangi oleh Pak Sitor. Aku semakin buta oleh nafsu yang mulai
menggebu-gebu merasuki jiwa dan tubuhku. Bahkan sepertinya aku tak sabar
menanti tindakan Pak Sitor selanjutnya. Akhirnya bra dan celana dalam
kremku pun terlempar ke lantai. Lengkaplah sudah sekarang kepolosanku di
hadapannya. Sejenak sempat kulihat Pak Sitor menelan ludah menatap
tubuh bugilku yang putih mulus.
Selesai menelanjangi aku, gantian dirinya yang melepaskan pakaiannya
satu per satu hingga lapis terakhir. Aku merasa tegang saat menungguinya
mencopoti pakaiannya sambil terbaring bugil di ranjang. Rasanya lama
sekali. Vaginaku terasa basah karena menahan gairah. Kuperhatikan
tubuhnya yang hitam. Meskipun sudah tua namun ototnya masih terukir
jelas. Ada gambar tattoo tengkorak di lengannya.
Saat Pak Sitor membuka celana dalamnya, di bawah temaram lampu, aku
bisa melihat ternyata penisnya tidak disunat! Aku berusaha
menyembunyikan keterkejutanku dan bersikap wajar supaya ia tak merasa
tersinggung.
Jantungku semakin berdebar-debar saat kami sudah sama-sama bugil dan ia mendekati tubuhku.
Kurasa dia adalah laki-laki yang keras dan hanya sedikit memiliki
kelembutan. Itu aku ketahui saat ia mulai merabai tubuhku yang polos.
Aku tersentak ketika Ia mulai memeluk dan menciumiku. Diciuminya aku
dari leher hingga belahan dadaku dengan kasar. Digigitinya bagian-bagian
sensitifku sehingga menimbulkan cupangan. Rabaan tangannya yang kasar
mulanya membuatku kesakitan tapi akhirnya aku pun jadi terangsang.
Suamiku jika merabaiku cukup hati-hati. Nyata perbedaannya dengan Pak
Sitor yang lebih kasar. Tampaknya ia sudah lama tidak berhubungan badan
dengan wanita. Sekarang akulah yang jadi sarana pelampiasan nafsunya
setelah sekian lama. Aku tak kuasa menolak tindakannya pada diriku. Yang
jelas aku merasa sangat terangsang disentuh dengan cara yang berbeda
dari yang biasa dilakukan oleh suamiku. Birahiku pun naik.
Tiba-tiba air mataku sempat menetes karena tersirat penyesalan telah
menodai perkawinanku. Namun percuma saja, sekarang semuanya sudah
terlambat. Pak Sitor semakin asyik dengan tindakannya. Tiap jengkal
tubuhku dijamahnya tanpa terlewatkan seinci pun. Kekuatan Pak Sitor
telah menguasai diriku. Aku membiarkan saja ia terus merangsangi diriku.
Tubuhku pun berkeringat tidak tahan terhadap rasa geli bercampur
gairah.
Lalu mulutnya turun ke selangkanganku. Ia sibakkan kedua kakiku yang
putih bersih itu. Di situ lidahnya bermain menjilati klitorisku.
Kepalaku miring ke kiri dan ke kanan menahan gejolak yang melandaku.
Peganganku hanya kain sprei yang aku tarik karena desakan itu. Kedua
kakiku pun menerjang dan menghentak tidak tahan atas gairah yang
melandaku.
Beberapa menit kemudian aku orgasme. Pak Sitor dengan mulutnya
menelan air orgasmeku itu. Badanku lemas tak bertenaga. Mataku pun
terpejam.
Setelah beristirahat beberapa saat, aku kembali dibangkitkan oleh Pak
Sitor dengan cara diciumi balik telingaku hingga liang kehormatanku. Di
sana jarinya ia masukkan. Ia pun mulai mengacak-acak liang kewanitaanku
lalu mempermainkan celahnya.
Sambil menikmati goyangan jari-jarinya di dalam vaginaku, aku semakin
sadar jika Pak Sitor telah lama merencanakan ini. Bisa jadi telah lama
ia berobsesi untuk meniduriku karena sama sekali tak nampak keraguan
dalam seluruh tindakannya mencabuliku. Berarti ia memang telah berencana
melanggar amanat suamiku dan menguasaiku.
Di satu pihak aku memandangnya sebagai ular berkepala dua. Anehnya,
di lain pihak, aku ikut merasa senang ia berhasil mewujudkan rencana
rahasianya itu terhadapku! Sekarang aku menikmati sensasi yang belum
pernah kurasakan sebelumnya…
Pikiran yang memenuhi benakku pun terputus karena aku lalu mengalami
orgasme untuk yang kedua kalinya oleh tangan Pak Sitor. Badanku telah
basah oleh keringat. Aku benar-benar merasa lemas.
Pak Sitor lalu mengambil gelas dan menuangkan air putih dari sebotol
air mineral yang ada di mejaku. Dibantunya aku untuk duduk dan minum.
Dalam beberapa teguk, air dalam gelas itu kuhabiskan. Pak Sitor lalu
menuangkan lagi air untuk diminumnya sendiri ke gelas yang sama. Aku
duduk di tempat tidur sambil bersandar ke dinding memperhatikannya.
“Ibu masih mau minum lagi?” tanya Pak Sitor selesai menghabiskan air di gelas.
Karena masih haus, aku pun mengangguk. Pelan-pelan kuminum air dari
gelas yang baru saja dipakai oleh Pak Sitor. Nikmat sekali rasanya.
Sekarang giliran Pak Sitor yang memperhatikanku menghabiskan minumanku
sambil tangannya mengelus-elus pundak dan leherku. Aku mulai merasa
nyaman berada dalam dekapan lelaki itu.
“Sudah?” tanyanya saat kuulurkan gelas yang kosong kepadanya.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum malu karena Pak Sitor yang
bugil itu menatap mataku dalam-dalam sambil mendekap tubuhku yang juga
bugil. Lalu dilepaskannya dekapannya dari tubuhku untuk meletakkan gelas
kosong kembali ke atas meja.
Saat kembali ke ranjang, Pak Sitor minta izin padaku untuk memasukkan
penisnya ke lubang kehormatanku. Walaupun kami sudah sama-sama bugil
dan aku pun telah dicabuli oleh Pak Sitor, aku masih merasa ragu.
Aku lalu menggeleng tidak setuju karena khawatir konsekuensinya.
Liang kehormatanku akan tercemar oleh cairan laki-laki lain. Aku merasa
telah terlalu jauh berkhianat pada suamiku. Bagiku cukuplah tindakannya
tadi dan tidak usah diteruskan lagi hingga penetrasi.
Aku mengambil pakaianku yang berceceran dan bersiap mengenakannya kembali.
Dari luar, Pak Sitor tampak mau menerima perkataanku dan tidak
meneruskan niatnya. Akan tetapi, aku bisa melihat ada rasa kecewa yang
dalam di matanya. Ia tampak gelisah. Aku bisa bayangkan dirinya yang
telah terobsesi untuk menyenggamaiku. Aku lihat penisnya sebetulnya
telah siap memasuki diriku jika aku izinkan. Panjangnya melebihi milik
suamiku dan agak bengkok dengan diameter yang melebar.
Akhirnya Pak Sitor minta aku untuk membantunya klimaks dengan
mengulum penisnya. Satu kali saja, katanya, sebelum kami menyudahi
permainan terlarang kami malam itu.
Aku ragu. Aku dan suamiku saja selama ini tak pernah saling melakukan
oral sex. Suamiku tak pernah melakukannya kepadaku, demikian juga
sebaliknya. Padahal kami selalu menjaga kebersihan wilayah sensitif
kami. Sedangkan aroma penis Pak Sitor lebih bau. Kelihatannya sih tak
terlalu bersih. Selain nampaknya Pak Sitor memang kurang menjaga
kebersihan, tentunya itu juga karena penisnya yang tak disunat.
Akhirnya, aku kembali menggeleng.
Walaupun aku menolaknya, Pak Sitor tak menyerah dan terus merengek
memohon-mohon padaku. Ia merasa sangat tersiksa karena belum berhasil
mengeluarkan hasrat birahinya yang terpendam.
Lama-kelamaan aku merasa kasihan juga. Tidak adil rasanya bagiku yang
telah dibantunya sampai dua kali orgasme untuk membiarkannya seperti
itu. Aku merasa diriku egois. Timbullah perasaan bersalah di dalam
diriku.
Akhirnya aku pun menyerah. Bukankah tadi Pak Sitor juga telah
membantuku masturbasi dengan tangan dan mulutnya? Jadi kupikir sekarang
hitung-hitung balas budi.
“Ya sudahlah, Pak…. Sekali ini saja, ya..?” kataku pelan tanpa daya sambil memegang pahanya yang kasar.
Tampak sekali kegirangan terpancar di wajah Pak Sitor. Seperti seorang anak yang baru saja diberikan mainan oleh ibunya.
Kuletakkan kembali pakaianku yang baru saja kukumpulkan dan tadinya sudah siap kukenakan kembali.
Perlahan kutundukkan wajahku mendekati selangkangan Pak Sitor. Dengan
sedikit jijik kubuka mulutku. Akhirnya, kuberanikan untuk mengulum
batang penisnya namun tidak muat seluruhnya ke dalam rongga mulutku.
Hanya sampai setengah batangnya, kepala penisnya sudah mentok sampai
pangkal tenggorokanku. Mulutku pun serasa mau robek karena besarnya
penis Pak Sitor.
Baru beberapa kali kulum aku serasa mual dan mau muntah oleh aroma
kelamin Pak Sitor itu. Aku maklum saja karena ia kurang bersih. Penisnya
yang tidak disunat, seperti kebiasaan laki-laki Batak, memang
membuatnya agak kotor. Selain itu, kurasa itu juga disebabkan oleh
makanannya yang tidak beraturan. Walaupun demikian, aku berusaha sekuat
tenaga menyembunyikan perasaan jijikku. Aku tak ingin membuatnya
tersinggung.
Sementara kepalaku menunduk dan mengulumi penisnya, mataku kerap
melirik ke atas mengamati ekspresi Pak Sitor. Awalnya aku merasa tak
percaya diri apakah dapat memuaskan Pak Sitor. Sementara aku bekerja,
tangan Pak Sitor yang satu mengelus-elus pundak dan leherku. Tangannya
yang satu lagi diletakkannya di kepalaku. Semakin lama kurasakan
tangannya semakin erat memegangi kepalaku, seolah tak menghendaki
kepalaku berpindah dari selangkangannya. Untuk sementara, aku jadi lega
karena itu artinya Pak Sitor sejauh ini puas dengan pelayananku.
Satu menit, dua menit… lima menit berlalu…. Entah berapa lama lagi
setelah itu aku mengulumi penis Pak Sitor sampai basah dan bersih oleh
air liurku… Aku lalu menyerah dan melepaskan penis Pak Sitor dari
mulutku.
Aku heran Pak Sitor ini sampai sekian lama kok tidak juga klimaks.
Padahal akibat kulumanku, penisnya semakin lama semakin keras seperti
sebatang kayu. Entahlah, mungkin aku juga yang belum pandai melakukan
oral sex… Maklumlah, ini baru pertama kali kulakukan.
Akhirnya aku sadar bahwa stamina Pak Sitor yang luar biasa besarnya
itu memang harus disalurkan dengan cara bersebadan… Mungkin karena belum
berpengalaman, kulumanku sekedar mengeraskan penis Pak Sitor tapi tak
mampu membuatnya orgasme.
Selain salut akan staminanya, aku juga salut atas sikapnya yang
menghargai wanita dengan tidak memaksakan kehendak. Padahal dalam
keadaan seperti ini, aku bisa saja dipaksanya untuk disetubuhi, yang
mana hal itu tidak ia lakukan karena aku menolaknya.
Aku jadi semakin merasa bersalah. Karena itu timbul keinginanku untuk
membantunya saat itu juga. Di dalam pikiranku berperang antara birahi
dan moral. Akhirnya, kupikir sudah terlanjur basah. Di samping itu, aku
tidak ingin menambah masalah antara aku dan Pak Sitor. Jika aku larang
terus nantinya Pak Sitor bisa saja memperkosaku. Seorang laki-laki yang
telah naik birahinya sampai di ubun-ubun sering bertindak nekad. Lagi
pula aku sendirian.
Akhirnya, dengan pertimbangan demi kebaikan kami berdua, maka aku
izinkan dia melakukan penetrasi ke dalam rahimku. Kupikir lebih baik hal
itu kami lakukan atas dasar suka sama suka daripada aku nanti
diperkosanya. Lagipula pikiran untuk disetubuhi lelaki lain untuk
pertama kalinya mulai menggoda benakku. Ya, aku membulatkan tekadku
untuk menerima Pak Sitor mengintimiku…
“Hmmm… Pak Sitor…. Begini deh… Kalau Bapak memang benar-benar mau mencampuri saya… Boleh, Pak….”
Pak Sitor pun tampaknya gembira sekali. Padahal tadi sempat kulihat wajahnya tegang sekali.
“Ibu benar-benar ikhlas…?” tanya Pak Sitor menatap dalam-dalam mataku
dengan penuh birahi. Tangannya membelai rambutku. Aku membalas
tatapannya sambil tersenyum, lalu mengangguk dengan pasti.
Pak Sitor mencium dan mengulum bibirku dalam-dalam… Seolah menyatakan
rasa terima kasihnya atas kesediaanku. Aku merasa dihargai sebagai
seorang wanita. Walaupun perilakunya keras namun ia tahu bagaimana
caranya memperlakukan wanita. Kubalas ciumannya dengan tulus. Aku pun
semakin mantap untuk menyerahkan diriku bulat-bulat kepadanya…
Setelah dilepaskannya pagutannya dari mulutku, kami pun berpandangan
dan saling tersenyum seperti sepasang kekasih. Sepasang kekasih yang
bersiap-siap untuk menunaikan malam pertamanya. Ada perasaan tegang dan
senang yang melanda diriku saat menyerahkan diriku pada Pak Sitor.
“Sebentar ya, Pak… dikerasin lagi penisnya, biar gampang nanti
masukinnya…” kataku sambil kembali menundukkan kepalaku ke arah
selangkangan Pak Sitor.
Selama beberapa saat kukulumi kembali penis Pak Sitor. Tangan Pak
Sitor membelai-belai rambutku saat aku bekerja. Tampak sekali kalau ia
sangat menikmatinya. Setelah batang penisnya benar-benar keras, barulah
kulepaskan mulutku…
Aku lalu berbaring dan membuka kedua pahaku, memberinya jalan
memasuki rahimku. Tubuh kami berdua saat itu telah sama-sama
berkeringat. Rambutku telah kusut. Dari temaram lampu dinding aku lihat
Pak Sitor bersiap-siap mengarahkan penisnya. Posisinya pas di atas
tubuhku. Tubuhnya yang telah basah oleh keringat hingga membuat badannya
hitam berkilat. Tampaknya ia masih berusaha menahan untuk ejakulasi. Di
luar, derasnya hujan seakan tidak mau kalah dengan gelombang nafsu kami
berdua.
Pak Sitor dengan hati-hati menempelkan kepala penisnya. Ia tahu jika
tergesa-gesa akan membuatku kesakitan sebab punyaku masih kecil dan
belum pernah melahirkan.
Aku pun berusaha memperlebar kedua pahaku supaya mudah dimasuki
kejantanan Pak Sitor. Aku melihat kejantanannya panjang dan agak bengkok
jadi aku bersiap-siap agar aku jangan kesakitan.
“Pelan-pelan ya, Pak…” Aku sempat bilang kepadanya untuk jangan cepat-cepat.
“Jangan khawatir, Bu…” katanya sambil memegang lututku mengambil ancang-ancang.
Dengan bertahap, ia mulai memasukan penisnya. Aku memejamkan mata dan
merasakan sentuhan pertama pertemuan kemaluan kami. Aku merasa seperti
pengantin baru yang sedang diperawani. Hatiku dag dig dug. Untuk pertama
kalinya aku dimasuki oleh laki-laki lain selain suamiku! Aku punya
perasaan ini akan lebih sensasional daripada malam pertamaku bersama
Bang Ikhsan…
Untuk melancarkan jalannya, kakiku ia angkat hingga melilit badannya,
lalu langsung penisnya masuk ke rahimku dengan lambat. Aku terkejut dan
merasakan ngilu di bibir rahimku.
“Auuch… ooh.. auuch…” Aku meracau kesakitan. Pak Sitor membungkam
mulutku dengan mulutnya. Kedua tubuh bugil kami pun sepenuhnya bertemu
dan menempel. Aku memeluk tubuh Pak Sitor yang kekar itu erat-erat.
Tidak lama kemudian seluruh penisnya masuk ke rahimku dan ia mulai
melakukan gerak maju mundur. Aku merasakan tulangku bagai lolos, sama
seperti yang kualami saat menjalani malam pertama dengan Bang Ikhsan
dulu…. Bahkan sekarang lebih terasa…. Perasaan yang belakangan ini sudah
tak pernah lagi kualami bersama suamiku. Kini aku bisa menikmatinya
kembali bersama Pak Sitor!
Aku pun mulai merasakan kenikmatan. Cairan vaginaku mulai keluar
banyak dan melumasi penis besar Pak Sitor yang terus keluar masuk liang
kemaluanku. Mulut pak Sitor pun lepas dari mulutku karena aku tidak
kesakitan lagi. Aku tersengal-sengal setelah selama beberapa waktu
mulutku disumpalnya.
Mulutku yang telah bebas kini mulai mengeluarkan erangan-erangan
karena menikmati genjotan lelaki itu. Aku merasa melambung dibawa Pak
Sitor ke surga dunia. Karenanya aku benar-benar percaya dan menyerahkan
diriku padanya. Tampak Pak Sitor sangat bahagia melihat penerimaanku
itu.
Kekuatan laki-laki ini membuatku amat salut. Genjotannya sampai
membuat ranjang dan badanku bergetar semua seperti kapal yang diserang
badai. Aku sampai menikmati orgasme yang luar biasa karenanya. Seolah
aku telah dilahirkan kembali dan diberikan kehidupan lain yang sama
sekali berbeda…
Kurang lebih 15 menit kemudian gerakan Pak Sitor bertambah cepat.
Tubuhnya menegang hebat. Aku merasakan basah di dalam rahimku oleh
cairan hangat. Akhirnya kesampaian juga obsesi Pak Sitor terhadapku.
Sekarang rahimku sudah menerima cairan spermanya yang panas dan
membludak. Resmilah sudah aku menjadi miliknya….
Tubuhnya lalu rebah di atas tubuhku tanpa melepaskan penisnya dari
dalam rahimku. Aku pun dari tadi telah sempat kembali orgasme. Butiran
keringat kami membuat basah kain sprei yang telah kusut di sana-sini.
Beberapa waktu kemudian Pak Sitor menggulingkan badannya ke samping
sambil menarikku sehingga kami berbaring berhadap-hadapan pada sisi
tubuh kami masing-masing. Aku terkagum-kagum karena dalam posisi itu,
penis Pak Sitor tetap berada dalam kepitan lubang kemaluanku. Satu hal
yang tak pernah kudapatkan saat bersama Bang Ikhsan suamiku.
Ini bisa terjadi karena penis Pak Sitor panjang. Selain itu, juga
kurasa karena ia begitu terangsang dengan diriku sehingga penisnya terus
mengeras walaupun sudah memuncratkan air mani dalam jumlah banyak.
Alasan yang terakhir ini tentu saja membuatku merasa sangat tersanjung
dan merasa sangat berharga di hadapannya. Aku ternyata bisa membuat Pak
Sitor terangsang dengan begitu hebatnya… Otomatis aku pun merasa sangat
senang sudah bisa menyenangkan dan memuaskan nafsu seks Pak Sitor.
Kami lalu tertidur dengan alat kelamin kami masih bersatu, sementara di luar hujan masih saja turun.
Entah berapa lama kami tertidur. Mestinya tak terlalu lama tapi saat
bangun aku merasa sangat segar. Aku terbangun karena gerakan-gerakan Pak
Sitor yang rupanya telah bangun terlebih dahulu. Sambil mengumpulkan
kembali memoriku yang beterbangan saat tertidur, aku mulai menyadari
kembali keadaanku saat itu. Penis Pak Sitor ternyata masih mantap
tertancap di kemaluanku, bahkan terasa keras sekali…
Sejenak akal sehatku kembali mampir. Gila! Aku telah bersetubuh
dengan lelaki selain suamiku…! Sepanjang tidur tadi tubuhku telah
dimasuki penis dan sperma Pak Sitor… Satu hal yang sama sekali tak
pernah terbayangkan sebelumnya! Di sisi lain aku pun sadar kalau
semuanya sudah telanjur. Aku tak mungkin kembali lagi. Sudahlah, biarlah
semuanya mengalir begitu saja… Nafsuku yang sudah dikendalikan Pak
Sitor lalu kembali menguasai diriku.
Dalam keadaan belum seratus persen sadar, aku segera tahu apa yang
harus kulakukan. Aku harus bersiap-siap karena Pak Sitor akan
menyetubuhiku lagi… Ya, kami sedang menjalani malam pertama kami… Pak
Sitor pasti ingin kulayani lagi. Aku harus memastikan dia mendapatkan
haknya atas diriku. Benar saja, tak lama Pak Sitor segera mengambil
posisi di atas tubuhku. Genjotan kenikmatannya pun kembali dilancarkan
terhadap diriku…
Saat itu tidak ada lagi batas di antara kami. Dalam hati, aku
sebetulnya merasa telah berdosa kepada suamiku. Bagaimanapun, pikiran
dan akal sehatku ternyata tetap tidak bisa menahan tubuh dan nafsuku
yang telah dikuasai dan dikendalikan sepenuhnya oleh Pak Sitor.
Hingga tengah malam Pak Sitor kembali menggauliku sepuasnya. Aku pun
tidak merasa sungkan lagi. Saat itu kami berdua telah mencapai titik
paling intim dalam hubungan kami. Kami berdua sudah tidak merasa asing
lagi satu sama lain. Aku mulai berpartisipasi secara aktif untuk saling
memuaskan nafsu badani kami.
Dalam waktu singkat, aku pun sudah tidak merasa jijik lagi jika
melakukan oral sex untuk Pak Sitor, seolah itu adalah salah satu menu
biasa yang harus kutunaikan untuknya. Bahkan ketika ia mengutarakan
niatnya untuk orgasme di dalam mulutku, aku serta merta menyanggupinya
dengan sukarela. Malam itu untuk pertama kalinya aku mencicipi rasa air
mani seorang lelaki dan menyantapnya dengan lahap…!
***
Sejak kejadian malam itu, hidupku berubah. Bagi seorang wanita
seperti aku, sangat sulit rasanya untuk melepaskan diri dari situasi
ini. Yang jelas, penyesalan sudah tak ada gunanya. Dari luar,
orang-orang memandangku sebagai seorang istri yang berwibawa dan menjaga
kehormatan. Akan tetapi semua itu jadi tak ada artinya di hadapan Pak
Sitor. Ia telah berhasil menemukan celah yang tepat untuk menguasaiku.
Ia telah berhasil menggauliku. Menjadikan diriku pemuas nafsu badaninya.
Kehormatan dan perkawinan yang aku junjung pun luntur sudah. Apa lagi
yang bisa kuperbuat…
Pak Sitor kini telah merasa jadi pemenang dengan kemampuannya
menaklukkanku hingga aku tidak berdaya. Aku semakin tidak berdaya jika
ia telah berada di dalam kamarku, untuk bersebadan dengannya. Kapan pun
ia datang menagih jatahnya, pasti aku penuhi. Hanya jika aku sedang
haid, aku bisa menolaknya.
Di hadapannya, posisiku tak lebih sebagai gundiknya. Hebatnya, ia
bisa membuatku menikmati peranku sebagai pemuas nafsunya. Di sisi lain,
aku pun sangat berterima kasih padanya karena semua itu tetap hanya jadi
rahasia kami berdua. Di luar tembok rumahku dan rumahnya, kami kembali
menjalani peran masing-masing di masyarakat.
Aku benar-benar terlena dan terbuai oleh gelombang gairah yang
dipancarkan Pak Sitor. Aku heran karena Pak Sitor yang seusia dengan
ayahku ini masih mampu mengalahkanku di ranjang dan membuatku orgasme
berkali-kali. Tidak seperti suamiku yang hanya bisa membuatku orgasme
sekali saja.
Kuakui aku jadi mendapat pengalaman baru yang memupuskan pendapatku
selama ini bahwa laki-laki paro baya akan hilang keperkasaannya.
Suatu saat, sehabis kami berhubungan badan, aku bertanya padanya
bagaimana ia bisa sekuat itu di usianya yang sudah tak muda lagi.
Pak Sitor bercerita bahwa ia sangat suka mengkonsumsi makanan khas
Batak, nanigota, yang berupa sup daging dan darah anjing. Makanan itu
diyakininya dapat menjaga dan menambah vitalitas pria.
Aku bergidik jijik dan mau muntah mendengarnya. Aku jadi ingat,
pantas saja saat bersebadan dengannya bau keringatnya lain. Juga saat
aku mengulum kemaluannya terasa panas dan amis. Rupanya selama ini Pak
Sitor sering memakan makanan yang di agamaku diharamkan.
Pernah suatu kali aku kurang enak badan padahal Pak Sitor ngotot
ingin mengajakku untuk bersetubuh. Aku pun dibelikannya makanan berupa
sate. Saat aku santap, rasanya sedikit aneh. Setelah makan beberapa
tusuk, aku merasakan tubuhku panas dan badanku seakan fit kembali.
Setelah sate itu aku habiskan, kami pun melakukan persetubuhan dengan
amat panas dan bergairah hingga aku mengalami orgasme sampai tiga kali.
Tubuhku seakan segar bugar kembali dan enak sekali.
Setelah persetubuhan, Pak Sitor bilang bahwa yang aku makan tadi
adalah sate daging anjing. Aku marah dan ingin memuntahkannya karena
jijik dan kotor. Hanya karena pandainya ia memberiku pengertian,
ditambah sedikit rayuan, aku jadi bisa menerimanya. Tetap saja kemudian
aku memintanya untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Aku tak ingin
memakannya lagi walaupun terus terang, aku pun mau tak mau harus
mengakui khasiatnya… Ia berjanji untuk tidak mengulanginya lagi tanpa
seizinku.
***
Selama aku bertugas di pulau itu hampir satu tahun, kami telah sering
melakukan hubungan seks dengan sangat rapi. Tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya. Untungnya pula, akibat perbuatan kami ini aku tidak
sampai hamil. Aku memang disiplin ber-KB supaya Pak Sitor bebas
menumpahkan spermanya di rahimku.
Kapanpun dan di manapun, kami sering melakukannya. Kadang di rumahku,
kadang di rumah Pak Sitor. Kadang kalau kupikir, alangkah bodohnya aku
mau saja digauli di atas dipan kayu yang cuma beralaskan tikar usang.
Kenyataannya, semua itu tak kupedulikan lagi. Yang penting bagiku
hasratku terpenuhi dan Pak Sitor pun bisa memberinya.
Pernah suatu hari setelah kami bersebadan di rumahnya, Pak Sitor
melamarku! Ia minta kepadaku untuk mau menikah dan hidup dengannya di
pulau itu. Lamaran Pak Sitor ini tentu mengejutkanku. Rupanya Pak Sitor
mulai mencintaiku sejak ia dengan bebas dapat menggauliku.
Memang selama hampir setahun terakhir ini kami berdua sudah menjalani
hidup nyaris seperti sepasang suami istri namun tetap saja rasanya itu
tidak mungkin sebab aku masih terikat perkawinan dengan suamiku dan aku
pun tidak ingin menghancurkannya.
Lagi pula Pak Sitor seusia dengan ayahku. Apa jadinya jika ayahku tahu.
Di samping itu, keyakinan kami pun berbeda karena Pak Sitor seorang
Protestan. Bagiku ini juga satu masalah. Memang, sejak berhubungan intim
dengannya, aku tak lagi menjalankan agamaku dengan taat. Aku tak pernah
sembahyang jika bersama Pak Sitor. Kebiasaan Pak Sitor menyantap daging
anjing dan babi, juga menenggak tuak, sedikit demi sedikit mulai
kuikuti.
Sekarang aku telah mahir pula memasakkan nanigota ataupun masakan
lainnya yang sejenis untuk Pak Sitor. Ia sering memuji kalau masakanku
jauh lebih enak daripada masakan di lapo di daerah kami. Beberapa kali
ia bahkan mengundang kawan-kawannya dari luar pulau untuk dijamu dengan
masakan khas Batak buatanku. Satu hal yang membuatku merasa bangga
tentunya.
Kadang aku ikut pula menikmati makanan seperti itu. Sekedar
menemaninya dan sebagai wujud toleransiku padanya. Lagipula, khasiat itu
semua terhadap gairah seks kami telah terbukti… Entah sugesti atau
bukan, yang jelas setiap kali aku ikut mencicipi masakan itu, akan
langsung diikuti oleh persetubuhan yang hebat antara aku dan Pak Sitor
semalam suntuk… Pak Sitor pun mengetahui hal itu. Karena itulah Pak
Sitor selalu berusaha mati-matian membujukku untuk bersamanya menikmati
hidangan itu setiap kali kami akan berhubungan badan.
Apapun, perbedaan agama itu tetap saja terasa menjadi ganjalan.
Apalagi Pak Sitor bersikukuh untuk tidak meninggalkan keyakinannya. Ia
mempersilakanku untuk tetap pada keyakinanku saat ini atau mengikuti
keyakinannya jika aku mau hidup bersamanya. Buatnya itu tak jadi
masalah.
Suatu saat, sepulangnya aku dari kerja, Pak Sitor ”menembakku”. Saat
itu aku baru saja diantarnya pulang ke rumah dan aku sedang berganti
pakaian di hadapannya. Di situ ia menyatakan cintanya padaku dan
menanyakan apakah aku mencintainya juga. Tentu saja aku agak gelagapan
memberinya jawaban. Aku berusaha menjawabnya sebijaksana mungkin.
Masih dalam keadaan setengah bugil, aku menghentikan aktifitasku.
Kuraih tangannya dan kuajaknya duduk berdampingan di sisi tempat
tidurku.
“Pak Sitor, aku pun mencintai Bapak dan yang jelas aku pun sangat
menyukai nafkah batin yang Pak Sitor berikan padaku selama di sini,”
kataku pelan-pelan sambil menatap matanya dalam-dalam untuk menyatakan
ketulusan ucapanku.
“Tapi kuharap Pak Sitor juga paham kalau di lain pihak aku masih
terikat pernikahan dengan Bang Ikhsan yang kunikahi atas dasar cinta
pula…” lanjutku.
Suasana jadi hening sejenak. Kurasakan genggaman tangannya agak menguat meremas-remas tanganku yang halus.
“Yaah… seandainya saja, kita bertemu waktu Bu Reni masih gadis,” keluh Pak Sitor. “Mungkin…”
“Mungkin apa, Pak?”
“Mungkin sekarang kita sudah menikah… bukan sekedar kawin…” katanya sambil mengelus pundakku yang telanjang.
Mukaku jadi memerah karena tersipu.
“Pak Sitor….” kataku pelan sambil merebahkan kepalaku di pundaknya.
“Bu Reni,” kata Pak Sitor lagi sambil menegakkan kepalaku perlahan menatap kedua matanya.
“Ya, Pak..?”
“Bu Reni lebih mencintai yang mana…. Aku atau suami Ibu…?”
Mukaku yang putih bersih pun kembali memerah karena tersipu. Kali ini kurasa benar-benar seperti udang rebus.
“Aaaa…aah, Pak Sitoor…. Pertanyaannya kok susah-susah sih…?” jawabku manja sambil mencubit tangannya.
Pak Sitor jadi gemas melihat reaksiku yang mesra dan manja. Apalagi
aku sudah dalam keadaan nyaris bugil. Kurasa nafsunya sudah naik sampai
ke ubun-ubun. Ia pun segera membantuku melolosi sisa pakaian yang
tersisa ditubuhku sebelum ia mencopoti pakaiannya sendiri.
Asyiik… aku akan disetubuhi lagi, pikirku girang. Tentu saja aku
senang. Aku tak pernah tidak senang dalam melayani Pak Sitor. Di samping
itu, kini dengan melayaninya di ranjang, aku jadi tak perlu menjawab
pertanyaan terakhirnya yang susah tadi.
Pak Sitor pernah menanyakan padaku kenapa aku tidak hamil padahal
setiap ia menyebadaniku spermanya selalu ia tumpahkan di dalam.
Diutarakannya keinginannya yang kuat untuk mendapatkan anak dari
rahimku. Aku jadi terharu karena itu membuktikan betapa besarnya
cintanya padaku. Sebagai seorang istri yang sah dari suamiku, tentu saja
aku jadi mengalami dilema.
Aku tidak memberitahunya jika aku ber-KB karena tidak ingin
mengecewakannya. Jelas ia sebenarnya menginginkan aku hamil agar
memuluskan langkahnya untuk memilikiku. Bahkan ia berusaha meyakinkanku
untuk melihat siapa yang akan lebih dulu berhasil menghamiliku, dirinya
atau suamiku. Seandainya ia yang berhasil pertama kali, Pak Sitor
berkeras untuk menikahiku. Minimal secara adat. Tak peduli apakah aku
harus bercerai dulu dengan Bang Ikhsan atau tidak. Satu permintaan yang
wajar sebetulnya. Untuk menyenangkan dirinya, aku pun menyanggupinya.
Bukan main girangnya Pak Sitor mendengar kesanggupanku itu. Sejak
itu, ia pun berusaha sekuat tenaga untuk membuatku hamil. Dengan
rajinnya aku sering dibawakannya ramuan khas Batak untuk meningkatkan
kesuburan. Entah terbuat dari apa saja, aku tak tahu. Untuk menyenangkan
dirinya, dengan patuh semuanya selalu kuminum. Bagaimanapun, aku tetap
lebih percaya dengan khasiat pil KB yang kuminum diam-diam secara
teratur.
Ia bahkan sampai hafal kapan saat-saat suburku. Jika saat itu datang,
ia telah memesan padaku bahwa itu adalah jatahnya. Sampai saat ini aku
masih bisa mengabulkannya, dengan catatan jika nanti Bang Ikhsan telah
pulang dan ia menagih jatahnya padaku tepat pada masa suburku, aku harus
mendahulukannya. Pak Sitor cukup fair untuk menerima perjanjian itu.
Akan tetapi bukan Pak Sitor namanya kalau tidak lihai dan cerdik.
“Suami Ibu kan biasanya minta jatah malam hari,” katanya.
“Nah, berarti kalau siangnya jatahku, kan…?” tanyanya tersenyum nakal. Aku pun tak bisa berkutik menanggapi permintaannya.
Itulah sebabnya, saat tiba masa suburku, aku membiasakan diri minta
izin untuk tak masuk kantor dengan berbagai alasan. Tujuan sebenarnya
tentu saja untuk memenuhi keinginan Pak Sitor yang ingin menyetubuhiku
seharian.
Bagaimanapun, aku tetap harus menyiasati agar ia tidak bermimpi untuk
menikahiku. Kurasa hubungan ini hanya sebagai pelarianku dari kesepian
selama jauh dari suamiku. Aku tak ingin sampai terjerumus lebih jauh
lagi, walaupun selama ini apapun yang diminta Pak Sitor dari diriku
sebisa mungkin selalu aku sanggupi.
Kuakui, sedikit banyak hubungan emosional antara diriku dengan Pak
Sitor tetap ada. Ada keinginan yang tulus dari diriku untuk
menyenangkannya dan melihatnya bahagia. Tentu saja selama aku tidak
sampai mengorbankan jatah suamiku. Toh, aku pun secara tak langsung
mendapat manfaatnya jika aku bisa menyenangkan dan memuaskan Pak Sitor.
Aku jadi memiliki pelindung setia selama tinggal di pulau yang terpencil
dan keras ini. Jadi keamananku terjamin, sesuai dengan yang diamanatkan
suamiku kepada Pak Sitor. Tapi tentu saja tak boleh lebih jauh dari
itu.
Jadi aku menjelaskannya pada Pak Sitor dengan lembut dan baik-baik suatu saat seusai kami berhubungan badan.
Aku bilang jika kelak aku pindah kerja, ia harus rela hubungan ini
putus. Selama aku dinas di pulau ini dan suamiku tidak ada, ia kuberi
kebebasan untuk memilikiku dan menggauliku. Syaratnya, asal jangan
berbuat macam-macam di depan teman-teman kantorku yang kebetulan hampir
semuanya penduduk asli pulau ini.
Akhirnya ia mau mengerti dan menerima alasanku. Ia berjanji akan
menutup rapat rahasia kami jika aku pindah. Ia pun menerima segala
persyaratanku karena rasa cintanya padaku.
Demikianlah, selama aku tugas di pulau ini, Pak Sitor terus memberiku
kenikmatan ragawi tanpa ada batas sama sekali di antara kami. Walaupun
demikian, aku tetap berusaha memegang prinsip bahwa cintaku hanya untuk
suamiku. Kalau diibaratkan perjalanan, Pak Sitor adalah satu stasiun
persinggahan yang harus aku singgahi.
Dalam hatiku, aku berjanji untuk menutup rapat rahasia ini karena
tetap masih ada setitik penyesalan dalam diriku. Kadang aku mengganggap
diriku kotor karena telah merusak kesucian pernikahan kami… Tapi
sudahlah, mungkin ini memang tahapan kehidupan yang harus aku lewati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar